Entri Populer

Selasa, 03 Februari 2009

Tantangan Baru Dunia Pendidikan

UU Guru dan Dosen yang disahkan DPR pada Desember 2005 telah membukakan mata kita akan perlunya guru memiliki kompetensi sosial untuk selanjutnya ditularkan kepada anak didik atau generasi muda kita. Kebutuhan generasi muda kita dewasa ini akan kompetensi atau kecerdasan sosial sudah sangat mendesak. Mengapa?

Krisis multidimensi yang terjadi sejak 1997 telah memberikan kesadaran kepada kita bahwa sebagian masyarakat kita telah kehilangan kearifan-kearifan sosial yang unggul, seperti toleransi, kemampuan berempati, semangat dan kemampuan menolong, serta kemampuan bekerja sama. Akibatnya, masyarakat kita mudah menyalahkan orang lain, mudah kehilangan kendali emosinya, mudah terseret isu yang bermuara kepada kerusuhan, dan mudah curiga terhadap kelompok lain sehingga berujung kepada bentrokan yang konyol.

Begitu cepatnya kerontokan kearifan-kearifan sosial ini, sampai banyak media massa, termasuk i Kompas (Sabtu, 11 Februari 2006), mengangkatnya ke dalam rubrik ”Tajuk Rencana”-nya. Dicontohkan oleh Kompas bahwa kearifan sosial lokal seperti ’musyawarah dan mufakat’ tererosi deras dari masyarakat kita, sehingga kalau terjadi perbedaan pendapat antarkelompok yang muncul adalah pertentangan, bahkan bisa berakhir kerusuhan.

Penyembuhan penyakit sosial ini ternyata tidak mudah. Kita pun berpikir bahwa penyembuhan penyakit sosial dan sekaligus pengembangan kompetensi kearifan-kearifan sosial yang paling strategis adalah lewat jalur pendidikan. Walau, tentunya, hasil usaha ini barangkali memerlukan waktu puluhan tahun untuk dapat dirasakan. Dari titik inilah UU Guru dan Dosen yang mengharuskan para guru dan dosen menguasai kompetensi sosial (di samping kompetensi pedagogik, kepribadian, dan keilmuan) perlu kita beri apresiasi.

Persoalan selanjutnya adalah apa kompetensi sosial itu dan bagaimana mengembangkan serta mengajarkannya. Inilah tantangan baru bagi dunia pendidikan kita.

Apakah kompetensi sosial?

Pakar psikologi pendidikan Gadner (1983) menyebut kompetensi sosial itu sebagai social intellegence atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh Gadner.

Semua kecerdasan itu dimiliki oleh seseorang. Hanya saja, mungkin beberapa di antaranya menonjol, sedangkan yang lain biasa atau bahkan kurang. Uniknya lagi, beberapa kecerdasan itu bekerja secara padu dan simultan ketika seseorang berpikir dan atau mengerjakan sesuatu (Amstrong, 1994).

Relevansi dengan apa yang dikatakan oleh Amstrong itu ialah bahwa walau kita membahas dan berusaha mengembangkan kecerdasan sosial, kita tidak boleh melepaskannya dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa dewasa ini banyak muncul berbagai masalah sosial kemasyarakatan yang hanya dapat dipahami dan dipecahkan melalui pendekatan holistik, pendekatan komprehensif, atau pendekatan multidisiplin.

Kecerdasan lain yang terkait erat dengan kecerdasan sosial adalah kecerdasan pribadi (personal intellegence), lebih khusus lagi kecerdasan emosi atau emotional intellegence (Goleman, 1995). Kecerdasan sosial juga berkaitan erat dengan kecerdasan keuangan (Kiyosaki, 1998). Banyak orang yang terkerdilkan kecerdasan sosialnya karena impitan kesulitan ekonomi.

Dewasa ini mulai disadari betapa pentingnya peran kecerdasan sosial dan kecerdasan emosi bagi seseorang dalam usahanya meniti karier di masyarakat, lembaga, atau perusahaan. Banyak orang sukses yang kalau kita cermati ternyata mereka memiliki kemampuan bekerja sama, berempati, dan pengendalian diri yang menonjol.

Dari uraian dan contoh-contoh di atas dapat kita singkatkan bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan seseorang bekomunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada orang lain. Inilah kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, yang pada gilirannya harus dapat ditularkan kepada anak-anak didiknya.

Untuk mengembangkan kompetensi sosial seorang pendidik, kita perlu tahu target atau dimensi-dimensi kompetensi ini. Beberapa dimensi ini, misalnya, dapat kita saring dari konsep life skills (www.lifeskills4kids.com). Dari 35 life skills atau kecerdasan hidup itu, ada 15 yang dapat dimasukkan ke dalam dimensi kompetensi sosial, yaitu: (1) kerja tim, (2) melihat peluang, (3) peran dalam kegiatan kelompok, (4) tanggung jawab sebagai warga, (5) kepemimpinan, (6) relawan sosial, (7) kedewasaan dalam berelasi, (8) berbagi, (9) berempati, (10) kepedulian kepada sesama, (11) toleransi, (12) solusi konflik, (13) menerima perbedaan, (14) kerja sama, dan (15) komunikasi.

Kelima belas kecerdasan hidup ini dapat dijadikan topik silabus dalam pembelajaran dan pengembangan kompetensi sosial bagi para pendidik dan calon pendidik. Topik-topik ini dapat dikembangkan menjadi materi ajar yang dikaitkan dengan kasus-kasus yang aktual dan relevan atau kontekstual dengan kehidupan masyarakat kita.

Materi ajar atau pelatihan itu disampaikan untuk mencapai pemahaman dan internalisasi nilai-nilai para peserta didik. Metode penyampaiannya dapat mengadopsi metode Tillman/UNESCO dalam pembelajaran living values (Grasindo, 2004). Metode yang bersifat edutaiment ini mengandung unsur permainan, inkuiri, dan eksplorasi, baik eksplorasi potensi diri maupun potensi lingkungan.

Metode ini sangat menantang sekaligus menyenangkan. Metode ini jauh dari gaya indoktrinasi ala penataran P4 yang lalu. Metode ini juga bisa mengimbangi daya pikat yang ditawarkan oleh hiburan-hiburan yang artifisial yang sering muncul di layar kaca di rumah kita.

Bagaimana mengemasnya?

Kemasan pengembangan kompetensi sosial untuk guru, calon guru (mahasiswa keguruan), dan siswa tentu berbeda. Kemasan itu harus memerhatikan karakteristik masing-masing, baik yang berkaitan dengan aspek psikologis ketiga kelompok itu maupun sistem yang mendukungnya.

Model pelatihan yang bersifat edutaiment cocok untuk para guru dan dosen. Karena jumlah guru dan dosen itu sangat banyak, dapat digunakan pelatihan berjenjang deret ukur TOT (training of trainer). Pelatihan TOT untuk guru dapat dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pelatihan guru seperti PPG Bahasa (Jakarta), PPG Matematika (Yogyakarta), PPG IPA (Bandung), dan PPG Kejuruan (Jakarta). Pelatihan untuk dosen dapat dilaksanakan oleh LPTK, yaitu universitas jelmaan atau koversi IKIP. Semua perlu persiapan yang matang karena kerja ini menuntut persyaratan keunggulan kualitas, ketepatan, dan kecepatan. Hal yang disebut terakhir ini perlu mendapat perhatian khusus karena UU Guru dan Dosen mengamanatkan proses sertifikasi kompetensi ini harus selesai dalam sepuluh tahun sejak UU itu disahkan.

Untuk para mahasiswa, khususnya calon guru, dapat dimasukkan ke dalam mata kuliah dasar, seperti ”ilmu sosial dasar” yang sejajar dengan mata kuliah ”ilmu budaya dasar” dan ”ilmu sains dasar” dengan perubahan paradigma. Kalau sebelumnya ilmu sosial dasar berorientasi kepada penyampaian pengetahuan, dalam paradigma baru ini perlu ditambah dan ditekankan pada penanaman nilai-nilai atau kearifan-kearifan sosial.

Untuk para siswa, baik dari tingkat dasar sampai tingkat menengah, karena alasan beban mata pelajaran mereka sudah sangat berat, pengembangan kompetensi sosial dapat dipadukan dengan pelajaran-pelajaran lain, khususnya mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan PPKn.

Barangkali ada yang ragu dengan cara memadukan atau menyelipkan ke dalam mata pelajaran lain ini. Alasannya, beban materi pelajaran itu sendiri sudah sangat berat. Asal kita bisa bertindak kreatif dan cerdas kesulitan ini tidak sulit diatasi. Misalnya, penanaman nilai toleransi dengan mudah dan tidak menambah beban mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan cara menyisipkan ke materi bacaan atau wacana, misalnya lewat cerpen atau dongeng. Hal yang sama dapat dilakukan pada mata pelajaran lain.

Hal yang sangat mendesak berkaitan dengan pelatihan, pembelajaran, dan sertifikasi guru dan dosen (khususnya yang berkaitan dengan kompetensi sosial dan kepribadian karena ini hal baru) adalah pengembangan pemahaman kompetensi ini yang komprehensif, yang dapat diterima oleh banyak pihak. Sampai saat ini sudah banyak seminar tentang UU Guru dan Dosen diadakan, tetapi kita belum sampai atau memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap kedua kompetensi ini. Hal kedua yang sangat mendesak adalah penyediaan silabus dan materi latihan atau ajar untuk mengembangkan kompetensi ini. Ini tantangan bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dan lembaga terkait lainnya, seperti PPPG, untuk berlomba menawarkan konsep dan draf materi pelatihan/pembelajaran kompetensi itu. Dari beberapa draf ini dapat kita sarikan dan padukan untuk memperoleh konsep dan materi pembelajaran yang terbaik.

Apabila dunia pendidikan bisa menjawab tantangan pengembangan kompetensi sosial ini secara cepat dan tepat, mudah- mudahan 10 tahun mendatang kita lebih banyak memiliki insan yang lebih demokratis, lebih toleran, dan memiliki tanggung jawab sosial yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar